Minggu, 22 Desember 2013

CerpenReligi ; Rindu Terbawa Angin

‘Assalamualaikum de..’ batin Nazmi lalu duduk pasrah. Nazmi bernapas panjang, lalu di hembuskan perlahan ke udara. Nazmi memandangi Zahra dari balik ‘rumah’ batu. Lelaki itu menatap sendu penuh rindu pada sosok Zahra, istrinya. ‘Kamu ingat pertama kali kita bertemu? Aku sangat ingat, dan kamu pasti membawa ingatan itu’ Nazmi berdehem pelan lalu tersenyum lepas pada angin yang datang bertamu di sekelilingnya. Hari ke-17 Ramadan 1433 H. “Assalamualaikum, maaf..” ujar Zahra tertunduk. Nazmi tertegun sesaat. Kalau saja waktu itu ia tak berpegangan pada sebuah tiang musalla, mungkin ia merasa lagi di kahyangan. Terbang, melayang takjub. Zahra berdehem pelan, pandangannya masih tertunduk. ‘Astaghfirullahal’adzim’ ucap Nazmi dalam hati, lalu menundukkan pandangannya. “Maaf, saya mau mengantar ini” ucap Zahra lembut. “Apaa…” ucap lelaki itu gugup. Zahra mengangkat pandangannya. ‘Ya Allah, makhluk apa di depanku sekarang ini?’ batin Nazmi gelisah, tak mampu berkata-kata melihat sosok perempuan di depannya yang mampu membuatnya lengah, berpaling dari asma Allah. “Maaf..” “Ya. Maaf. Maksud saya…” Saat itulah muncul ustad Abdullah. Lelakparuh baya itu tersenyum melihat dua insan di depannya. “Assalamualaikum..” “Waalaikumsalam..” jawab Zahra dan Nazmi berbarengan, kompak. Ustad Abdullah lagi-lagi tersenyum. “Ada apa Zahra?” ucap guru ngaji sekaligus imam di musalla Nurul Iman itu. “Saya membawa kue untuk buka puasa” “Oh, terima kasih Zahra” sahut Ustad Abdullah sekilas melirik Nazmi yang wajahnya memerah malu. Sesaat mata Zahra beradu dengan Nazmi. Zahra pamit pulang dan berlalu dari musalla. “Namanya Zahra, nak” ucap Ustad Abdullah tersenyum pada pemuda itu. Nazmi tersenyum penuh rona. Memandang sosok Zahra dari belakang. ‘Astaghfirullah’ batin Nazmi beristigfar lalu masuk ke dalam musalla. Langit sore memancarkan siluet jingganya. Segera berganti seiring beduk buka puasa di tabuh. Angin membelai mesra wajah Nazmi yang tertegun mengingat kejadian itu. Matanya di saput awan kerinduan mendalam. Ia berpaling pada sosok Zahra. Lalu tersenyum tulus ia menjawab sapaan burung-burung juga datang bertamu. Nazmi memandang langit berselimut awan yang menari bebas di angkasa. Pemuda itu menahan napas beratnya. Otaknya memutar ingatan tentang dirinya dan Zahra. 3 Syawal 1433 H. Nazmi bertandang ke rumah Zahra untuk pertama kalinya. Itu pun karena ajakan saudara sepupunya yang kebetulan tinggal di komplek rumah Zahra. Perasaan gugup menyelimuti hatinya. Berulang kali ia mengecek tangannya yang tak berhenti menggigil. “Kamu kenapa Mi,?” celetuk Fadil, saudara sepupunya Nazmi menuju perjalanan ke rumah Zahra. “Ah, ngga.. Ana baik, ya baik-baik saja” jawab Nazmi gugup. Fadil tersenyum simpul berjalan di depan Nazmi. Sesampainya di rumah Zahra, “Assalamualaikum..” Fadil mengucap salam. “Waalaikumsalam..” sahut seseorang dari dalam, Zahra. Dengan anggun dan tenang gadis itu menyambut kedatangan tamunya itu. “Duduk ya. Aku panggilkan Mama” ucap Zahra tersenyum berlalu masuk ke dalam. Angin menyadarkan kembali Nazmi yang tertegun. ‘Kamu ingat kan, pertama kali bertemu di rumah kamu. Lucu, aku merasa gugup luar biasa’ batin Nazmi sendu. Dedaunan kering yang jatuh di tanah, melayang pasrah karena hempasan angin. Nazmi meraih daun itu dan meletakkannya dengan lembut ke tanah. Nazmi jadi ingat betapa lembutnya sikap dan sifat Zahra. Dengan seekor semut pun ia tak tega untuk mengusirnya. Angin mendadak berubah menjadi deruan yang nyaring. Di iringi suara petir yang mulai bersahutan. Nazmi tak percaya bahwa akan hujan deras, padahal sebelumnya tak ada tanda mau hujan seperti langit mendung pun tak ada. Bergegas pemuda itu menuju sebuah saung yang terletak di tengah padang. ‘Zahra, sepertinya aku harus pulang dulu. Besok kita bercengkrama lagi ya. Assalamualaikum’ ucap Nazmi memandang jauh sosok Zahra, lalu dengan melangkah cepat menuju kendaraannya. Berlalu meninggalkan ‘padang’. RD161013 [Continue]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar